Artikel saya bertajuk “Mengapa Indonesia Lebih Berjaya daripada Malaysia” sama sekali tidak menggunakan pendekatan ekonomi. Namun, jika kita merujuk beberapa anlisis ekonomi, orang Indonesia bisa dengan yakin berkata, “Ya, masa depan ekonomi Indonesia cerah!”
Purbaya Yudhi Sadewa, misalnya, mengatakan bahwa ekonomi nasional memang melambat pasca kenaikan harga bahan bakar minyak pada bulan Oktober 2005. Namun, ekonomi membaik semenjak April 2006. “Angka Coincident Economic Index (CEI) meningkat sejak April 2006,” tulisnya.
CEI adalah indeks yang disusun Danareksa Research Institute (DRI) untuk mendedah, menangkap keadaan ekonomi secara menyeluruh. Indikator indeks adalah data penjualan mobil, konsumsi semen, penjualan ritel, impor, dan laju pertumbuhan uang riil.
Pemulihan ekonomi, tambah Purbaya, terlihat dari angka Indeks Kepercayaan Konsumen (IKK) — juga disusun DRI — yang terus meningkat. Nilai IKK secara tidak langsung berhubungan dengan kemampuan belanja rumah tangga. Peningkatan belanja rumah tangga yang ditandai nilai IKK, “Mendorong perusahaan-perusahaan menggalakkan kegiatan produksi dan investasi,” jelasnya.
Bahkan menurut Dana Moneter Internasional (IMF), Indonesia masuk dalam pasar yang bertumbuh dengan pesat (emerging market) di Asia setelah Tiongkok (10 persen), India (8,4 persen) dan Vietnam (8 persen). Angka pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2007 adalah 6 persen, atau melaju dibanding tahun 2006 (5,5 persen). Tahun 2008, menurut IMF, Indonesia akan bertumbuh 6,3 persen.
Laporan IMF yang ditulis oleh Christopher Crowe menyimpulkan bahwa:
Kerentanan Indonesia terhadap krisis keuangan lain yang boleh jadi muncul sewaktu-waktu telah berkurang.
Kebijakan-kebijakan yang kuat telah memampukan Indonesia mengatasi badai ekonomi apapun.
Menurut Crowe, secara umum Indonesia berhasil mengurangi kerawanan keuangan dan makroekonomi mulai tahun kesepuluh tahun semenjak krisis. Crowe juga menyebutkan bahwa terdapat aliran modal yang cukup besar masuk Indonesia sampai bulan Mei tahun 2007. Meskipun bulan-bulan berikutnya modal mengalir keluar disebabkan oleh guncangan pasar global, program reformasi keuangan dan makroekonomi Indonesia berhasil mengatasinya.
Ketua Yayasan Indonesia Forum, Chairul Tanjung, mengatakan bahwa saat ini Indonesia berada dalam kelompok negara berpendapatan menengah ke bawah. Posisi ini akan bertahan hingga tahun 2015. Namun, dalam proses industrialisasi, tambahnya, Indonesia bisa menjadi negara berpenghasilan besar.
Menurut Chairul, jika per tahun pertumbuhan ekonomi riil rata-rata 7,62 persen, laju inflasi 4,95 persen, sedangkan pertumbuhan penduduk 1,12 persen, pada tahun 2030, dengan jumlah penduduk 285 juta jiwa, pendapatan domestik kotor Indonesia bisa mencapai US$5,1 triliun. Dengan tingkat per kapita US$18.000 per tahun, ujarnya, “Pada kala itu Indonesia akan berada pada posisi kelima ekonomi terbesar setelah Tiongkok, India, Amerika Serikat dan Uni Eropa.”
Beras import, gula impor, harga minya titik tertinggi kita malah mengalama produksi titik terendah.
Mungkin bisa dibahas yg real2.. banyak negara secara politik gak terlalu bebas, tapi rakyatnya makmur. Yah, contoh negara2 tetangga lah.. spore, malaysia.
Anyway, emang harus tetap semangat dan positif terus 🙂
Saya percaya, sangat percaya. bahkan tanpa membaca artikel bro Junarto tentang Indonesia & Malaysia.
Kita, Indonesia, sudah melewati banyak sekali cobaan dan Tuhan memberkati perjuangan kita, kita masih utuh sebangai NKRI sampai detik ini adalah bukti tak terbantahkan.
Me-manage satu negara multi kultur tidak lah segampang wancana, berjuta problem datang terus menerus tapi toh kita bisa lewatin.
negara tetangga boleh menulis apa aja tentang kita, tapi seandainya mereka ngalamin hal serupa, belum tentu mereka masih bisa utuh sebagai negara.
Saya warga Negara RI keturunan Tiongkok, tapi bangga ber KTP Indonesia. Dan dengan sejujurnya, meski ditawarin, saya akan pikir 1000x buat pindah ke Singapore apalagi Malaysia.
Kita masih negara berkembang, jadi wajar saja banyak masalah disegala sektor yang perlu pembenahan. tak ada negara yang plek merdeka langsung maju.
Dalam pendapatku, Malaysia sekarang hampir sama keadaannya seperti kita saat Orde Baru (ekonomi pesat, etc, etc).
Dengan kata lain, evlolusi kita sebagai bangsa sudah satu tahapan lebih maju.
Negara yang mengekang kebebasan bersuara, suatu saat akan tertinggal, gmana mau maju terus kalo kepentingan bangsa hanya dipikir oleh segelintir orang? Kemajuan Bangsa, ya miliki semua rakyatnya.. kudu dipiikirin sama2.
YA!! Indonesia punya potensi untuk melesat.
yup!!! indonesia makin kaya,sedikit yang kaya dan lebih banyak yang miskin…banyak sekali….
Same here, baginda. 😀
Benar, negara ini punya potensi. Sekarang masalahnya adalah bagaimana me-manage potensi itu agar tetap berada di jalan yang ‘seharusnya’. 🙂
@legolaslivein9th
Di bawah saya kutipkan artikel Kompas yang berimbang (ada laporan BPS dan ada kritik oposisi).
Jumlah penduduk miskin banyak, tapi berkurang (meskipun masih banyak 🙂 )
Poinnya ada perbaikan boz…
berita2 positif itu bikin kita semangat juga.
Kita semua senang merasakan demokrasi di Indonesia yang berkembang dengan baik, yang juga diakui oleh masyarakat internasional seperti terlihat dari Democracy Index 2006 yang dikeluarkan oleh The Economist Intelligence Unit yang menempatkan Indonesia di peringkat 65, lebih tinggi kalau dibandingkan dengan peringkat Malaysia (81) dan Singapore (84). Untuk lengkapnya bisa dilihat di http://www.economist.com/media/pdf/DEMOCRACY_INDEX_2007_v3.pdf. Indonesia juga mendapatkan penghargaan Democracy Medal dari IAPC yang akan disampaikan dalam konferensi mereka bulan depan di Bali.
Namun menurut saya, demokrasi di Indonesia masih dalam kondisi rawan, belum stabil dan harus sama-sama kita jaga dengan baik-baik. Musuh utama demokrasi kita adalah upaya yang masih terus ada untuk mengadu domba sesama anak bangsa dalam urusan agama, angka kemiskinan yang masih tinggi serta korupsi dengan berbagai bentuknya. Indonesia masih menduduki peringkat kedua negara paling korup di Asia bersama Thailand dalam survei terakhir yang dilakukan oleh PERC, walaupun diberi catatan sudah ada perbaikan.
@ Hati Nurani
Terima kasih data-datanya. Mudah-mudahan orang Indonesia semakin percaya diri dan semangat. Dan moga-moga data-data ini bisa menjadi cambuk buat Indonesia (dan Malaysia) untuk menjadi lebih baik lagi.
# Charvye Berkata:
Oktober 22nd, 2007 pada 6:08 pm
Saya percaya, sangat percaya. bahkan tanpa membaca artikel bro Junarto tentang Indonesia & Malaysia.
Kita, Indonesia, sudah melewati banyak sekali cobaan dan Tuhan memberkati perjuangan kita, kita masih utuh sebangai NKRI sampai detik ini adalah bukti tak terbantahkan.
Me-manage satu negara multi kultur tidak lah segampang wancana, berjuta problem datang terus menerus tapi toh kita bisa lewatin.
negara tetangga boleh menulis apa aja tentang kita, tapi seandainya mereka ngalamin hal serupa, belum tentu mereka masih bisa utuh sebagai negara.
Saya warga Negara RI keturunan Tiongkok, tapi bangga ber KTP Indonesia. Dan dengan sejujurnya, meski ditawarin, saya akan pikir 1000x buat pindah ke Singapore apalagi Malaysia.
Kita masih negara berkembang, jadi wajar saja banyak masalah disegala sektor yang perlu pembenahan. tak ada negara yang plek merdeka langsung maju.
Dalam pendapatku, Malaysia sekarang hampir sama keadaannya seperti kita saat Orde Baru (ekonomi pesat, etc, etc).
Dengan kata lain, evlolusi kita sebagai bangsa sudah satu tahapan lebih maju.
Negara yang mengekang kebebasan bersuara, suatu saat akan tertinggal, gmana mau maju terus kalo kepentingan bangsa hanya dipikir oleh segelintir orang? Kemajuan Bangsa, ya miliki semua rakyatnya.. kudu dipiikirin sama2.
YA!! Indonesia punya potensi untuk melesat.
=======================
Bicara memang senang dong, lihat sahaja sejensis yang berasal dari Tiogkok, di Malaysia dan Singapura sendiri, secara umumnya mereka lebih suka berhijrah ke Australia, AS dan Eropah. Bila s’pura mengalami krisi ekonomi mereka cepat2 lari ke Australia, yah kalau anda berfikiran hidup di Singapura itu lebih baik hidup di Indonesia, sedanagkan Cina singapura sekarang sudah mau lari dong. Ini makna cara berfikir Mas masih dalam level bawah cina Spora dan Malaysia. Mungkin ini akibat pendidikan nasional Indonesia, bukannya sifat Cina dan budaya kinerja kaum Cina.
Mungkin Spura adalah tempat transit yang bagus untuk kaum Cina yang korupsi di Indonesia, sehigga beberapa korupter Cina dari Indonesia terselamat dalam kasus Krisis Rupiah Dollar (Spora tidak ada undang-undang ekstradisi dengan Indonesia). Setelah bangsa Indonesia (aka Jawa) ditipu oleh Cina Konglomerat melarikan kekayaan orang Indonesia, alih2 dapat suaka di Spora.
Mungkin anda ini hanya orang dari tiongkok yang biasa-biasa aja, bukannya ukuran kepada Cina yang lain . Aku sering berbisnes ke Indonesia, aku tahu siapa rakan bisnes aku diJakarta. Mungkin orang Jawa bisa pegang slogan pemerintahan sahaja lagu rasa sayange, mitos Indonesia bangsa kuat, tapi ekonominya pada siapa yah? Lihat saja bila negara kena krisis ekonomi, bangsa mana yang cepat2 melarikan diri ke negara luar, bukankan bangsa cina?
Roslank
@ Roslank
Maaf sebelumnya kalo saya berpendapat bahwa posting anda diatas telah menunjukkan kepada kita kualitasnya intelektual anda yang rendah.
Ketika anda nulis saat krisis orang2 cina pada lari keluar, apakah anda bermaksud mengatakan bahwa SEMUA orang Indonesia Tiongkok kabur??
Kalo anda coba mau pakai otak sedikit lagi saja, maka saya yakin anda akan kepikiran bahwa hanya segelintir persen yang lari keluar. Masih banyak yang setia dan bangga bernegara bertanah air di Indonesia.
Membaca postingan anda, saca tersenyum kecil karena secara tidak langsung anda sudah menunjukkan level intelektualitas anda.
saya mengakui kalo nasionalisme saya terhadap Indonesia termasuk tinggi, dan postingan anda berbau sepertinya anda iri pada kenyataan ini. apakah orang tiongkok di Malaysia tidak bangga bertanah air malaysia? kalo jawabnya YA, saya sudah tau alasannya.
saya bicara fakta sedangkan anda bicara kosong.
tak ada gunanya perdebatan ini dilanjutkan, kita tidak akan ketemu di satu titik.
Sekian dari saya.
@ Hati Nurani
Thanks banget buat postingannya yang membuka wawasan.
@ Roslank
Mentah sekali.
Jujur saja, seakan – akan anda berkata bahwa anda sangat iri terhadap Indonesia.
Anda kira dengan menjelekkan Indonesia, anda bisa menaikkan derajat Malaysia.
Nampaknya orang-orang Indonesia ini suka berfalsafah lah kiranya, waduh saya dituduh tidak intelektual bila menguak sedikit fakta tentang indonesia. katanya bangsa indonesia cintakan indonesia dan banyak lagi. Duss, ilmu penampilan penulisan pula ingin dibahas, kalau menulis kasar kiranya wataknya kasar dan kejam macam Oknum Malaysia.
Baiklah bapak Mihael “D.B.” Ellinsworth dan Charvye, apakah saudara ini betul cintakan Indonesia dan bangga menjadi anak indonesia?
Tapi keterampilan anda tidak, anda lebih suka mengunakkan nama asing cuba lihat nama anda
Mihael “D.B.” Ellinsworth
Charvye
“saya mengakui kalo nasionalisme saya terhadap Indonesia termasuk tinggi, dan postingan anda berbau sepertinya anda iri pada kenyataan ini”
Ini bukan nama indonesia, apakah saudara ini bangsa yang inferior kerana tidak memakai nama Jawa, nama Indonesia. Apakah pengakuan di atas bukti hipokrasi saudara cintakan Indonesia?
Kalau sekadar ingin menunjukkan kesalahan orang lain itukan senang, memperkatakan orang lain tidak intelektual itu senang dong. Namun untuk mengusung identiti dengan memakai nama sebenar Indonesia itu yang sulit sebenarnya untuk anda, apakah itu jatidiri anda? atau anda ngak punya jati diri sendiri.
Kok nama Indonesiapun mau diGANYANG dengan nama orang Barat. Anda patut malu pada diri sendiri dong, memperkatakan patriotik indonesia dan nasionalis indonesia, tapi mengusung identiti tak karuan.
ini faktanya….apa Orde Baru telah menghilangkan identiti orang indonesia? Kalau tanya sama saya, saya katakan mereka sebenarnya inferior dengan John, Micheal, Lemming dll sebab itu mereka suka berselidung disebalik nama bangsa lain, kemudian merasa superior.
Sekian dari Saya
RoslanK
(tidak pernah merasa inferior dng nama Melayuku)
Bung Roslan, Indonesia adalah sebuah bangsa yang unik karena terbentuk dari hasil pengaruh budaya lokal dengan berbagai budaya besar seperti Hindu/Budha (India), Islam (Arab), Cina dan Barat.
Nama-nama seperti David, Michael, Robert, John kebetulan merupakan pengaruh dari barat dan nama-nama semacam ini di Indonesia tidak hanya digunakan oleh orang Indonesia keturunan Cina tapi juga oleh orang Indonesia dari suku Batak, Jawa, Maluku, Papua, Minahasa, Dayak, Nusa Tenggara dll.
Kalau orang Melayu di Malaysia kan, nama-nama mereka umumnya diambilkan dari Arab. Yang saya dengar, hampir tidak mungkin menemukan orang Melayu di Malaysia yang bukan beragama Islam sehingga kita bisa maklum kalau nama-nama orang Melayu di Malaysia umumnya hanya bernuansa Arab sehingga Bung Roslan mungkin merasa bahwa nama-nama tersebut adalah nama “asli” Melayu. Apakah nama-nama yang populer di Malaysia seperti Mahathir Muhammad, Tun Abdul Rahman, Ahmad Badawi, Anwar Ibrahim, Azizah. Sitti Nurhalisa adalah nama-nama “asli” dari Malaysia, Bung ? Saya kira nama-nama tersebut juga “diimpor” dari negeri Arab.
Indonesia agak berbeda dengan Malaysia. Walaupun Islam adalah agama yang dianut oleh mayoritas orang Indonesia, namun orang Indonesia bebas memilih agama yang mau kami anut dan kita bisa menemukan dengan mudah orang “bumi putra” Indonesia yang beragama Islam, Kristen, Budha, Hindu bahkan kepercayaan lokal. Mereka bebas memilih agama dan kepercayaan mereka, sehingga wajarlah kalau kebetulan mereka beragama Islam, namanya bernuansa Arab, kalau mereka beragama Kristen, namanya bernuansa barat dst. Di Indonesia kami bebas memilih agama kami. Bagaimana di Malaysia, Bung Roslan ? Apakah di Malaysia juga ada kebebasan bagi orang Melayu untuk memilih agama mereka ?
Kita lihat, beberapa pahlawan Indonesia yang namanya berbau barat seperti Yosafat Sudarso (dikenal dengan nama Yos Sudarso) dan Yohannes Leimena (dikenal dengan nama Pak Yo) – mereka sungguh nasionalis dan mereka berjuang melawan penjajah Barat.
Jadi janganlah melihat dengan kaca mata sempit bahwa kalau nama kita berbau asing kemudian dianggap tidaklah nasionalis. Nama Bung Roslan (Mohd) sendiri saya kira berbau “asing” yaitu dari “Arab”, apakah kemudian dengan mudah saya menyimpulkan bahwa anda bukanlah seorang nasionalis Malaysia karena nama Anda yang kebetulan berbau Arab ?
Nelson Mandela, semua orang tahu bahwa beliau adalah nasionalis besar dari Afrika Selatan yang sangat gigih melawan penjajah Barat. Beliau kebetulan menggunakan nama Barat, apakah kemudian Anda menyimpulkan bahwa beliau tidak nasionalis, Bung?
Memang ada berbagai pemikiran dan kritik seperti dari tokoh seperti Gus Gur tentang “pribumisasi” agama. Menurut beliau, menjadi Kristen tidaklah perlu “menjadi” orang barat dan menjadi Muslim tidaklah perlu “menjadi” orang Arab. Beliau memberikan contoh dengan memberi nama cucu pertama beliau dengan nama “Parakitri” yang agak unik karena sebagai tokoh agama Islam, umumnya nama yang digunakan adalah nama-nama bernuansa Islam.
Semoga bisa menjadi bahan pencerahan, Bung !
FROM WIKIPEDIA :
http://en.wikipedia.org/wiki/Malaysian_name
MALAY NAMES
Malay names are often drawn from ARABIC and follow some ARABIC naming customs, although some names have Malay, Javanese or Sanskrit origin. A Malay’s name consists of a personal name, which is used to address him or her in all circumstances, followed by a patronym. Malays do not use family names. For men, the patronym consists of the word bin (from Arabic بن, meaning ‘son of’) followed by his father’s personal name. Thus, if Osman has a son called Musa, Musa will be known as Musa bin Osman. For women, the patronym consists of the word binti (from Arabic بنت, meaning ‘daughter of’) followed by her father’s name. Thus, if Musa has a daughter called Aisyah, Aisyah will be known as Aisyah binti Musa. Upon marriage, a woman does not change her name, as is done in some cultures.
Sometimes the first part of the patronym, bin or binti, is reduced to B. for men, or to Bt., Bte. or Bint. for women. This sometimes leads to it being taken as a middle initial in Western cultures. In general practice, however, most Malays omit the word bin or bint from their names. Thus, the two examples from the paragraph above would be known as Musa Osman and Aisyah Musa. When presented in this way, the second part of the name is often mistaken for a family name. However, when someone is referred to using only one name, the first name is always used, never the second (because you would be calling someone by his or her father’s name). Thus, Musa Osman is Mr Musa (or Encik Musa in Malay), and Aisyah Musa is Mrs/Ms/Miss Aisyah (or Puan/Cik Aisyah in Malay).
Addenda to names
Often the straightforward system of naming among Malays in complicated by addenda. This is where a double name is used in place of one. The addendum is always the first part of such double names. Addenda are easily spotted as they are drawn from a restricted pool of possible names. These addenda rarely form a complete name on their own, but are almost always followed by another personal name.
The popular addenda in the Malay male names are:
Muhammad / Mohammad / Mohammed (often abbreviated to Mohd., Muhd., Md. or simply M.)
Mat (the Malay variant of Muhammad. Mat is also the casual spoken form of names ending with -mad or -mat such as Ahmad, Rahmat, Samad, etc.)
Ahmad
Abdul (as in Arabic, Abdul is not a complete name in itself, but, meaning ‘servant of’, must be followed by one of the 99 Names of God in the Qur’an; for example, Abdul Haqq — ‘servant of the Truth’)
The most common addenda in the Malay female names are:
Nor / Noor / Nur / Nurul
Siti
Thus, Osman may have another son called Abdul Haqq, who is known as Abdul Haqq bin Osman, or Abdul Haqq Osman. Then he, in turn, may have a daughter called Nor Mawar, who is known as Nor Mawar binti Abdul Haqq, or Nor Mawar Abdul Haqq.
If someone has been on the Hajj, the pilgrimage to Mecca, they may be called Haji. Thus, if Musa bin Osman went on the Hajj, he could be called Haji Musa bin Osman, and his daughter Aisyah might be called Aisyah binti Haji Musa.
Some addenda are inherited Malay titles (from the paternal side of the family). These exclusively involve the aristocrats, or even the royals, and their descendants. However, some families have these addenda even though they may not be royals or aristocrats.
The examples of inherited addenda are:
Raja
Tengku
Wan
Nik
Tuan
Syed / Sharifah (for male and female, respectively)
Meor
Megat / Puteri (for male and female, respectively)
Abang / Dayang (popular in Sarawak, for male and female, respectively)
Chinese names
Traditional Chinese names are used among Malaysian Chinese. These names are usually represented as three words, for example Foo Li Leen or Tan Ai Lin. The first name is the Chinese family name, which is passed down from a father to all his children. The two other parts of the name form an indivisible Chinese given name, which almost always contains a generation name. In Western settings, the family name is sometimes shifted to the end of the name (for example, Li Leen Foo). Some Chinese also take a Western personal name (for example, David Foo).
Indian names
Officially, Malaysian Indians use a patronymic naming system combining their traditional Indian names with some Malay words. A man’s name would consist of his personal name followed by the Malay phrase anak lelaki, meaning ‘son of’, and then his father’s name. A woman’s name would consist of her personal name followed by the Malay phrase anak perempuan, meaning ‘daughter of’, and then her father’s name. The Malay patronymic phrase is often abbreviated to a/l (‘son of’) or a/p (‘daughter of’) and then their father’s name. In many circumstances, the intervening Malay is omitted, and the father’s name follows immediately after a person’s given name. Following traditional practice from South India, the father’s name is sometimes abbreviated to an initial and placed before the personal name. Thus, a man called Anbuselvan whose father is called Ramanan may be called Anbuselvan anak lelaki Ramanan (formal), Anbuselvan a/l Ramanan (as on his MyKad), Anbuselvan Ramanan or R. Anbuselvan. Whereas, his daughter Mathuram would be called Mathuram anak perempuan Anbuselvan (formal), Mathuram a/p Anbuselvan (as on her MyKad), Mathuram Anbuselvan or A. Mathuram. Although not recorded officially, an Indian woman may use her husband’s personal name instead of her father’s name after marriage.
Bung Roslan,
Ketika anda sudah kehabisan alasan, anda memilih untuk menjatuhkan Bung Mihael dan Charvye dengan menyebut bahwa nama mereka pun berbau kebarat-baratan dan tidak nasionalis. Pemikiran anda sungguh picik, bung Roslan. Saya setuju dengan rekan saya Hati Nurani, bahwa nama bukanlah jaminan seseorang itu lebih nasionalis dari yang lain. Sebelum anda mengkritik nama orang lain, kenapa anda tidak menengok nama anda sendiri yang berbau Arab. Kalau kami pakai logika seperti anda berlogika, pantas dong kami mempertanyakan kenapa anda sendiri tidak pakai nama yg khas Melayu, benar Melayu yah, bukan Arab. Mungkin anda akan beralasan bahwa orang tua andalah yg memberi nama itu. Nah menurut logika anda itu berarti orang tua anda itu bukan nasionalis malaysia dong?????? hehehehe lain kali kalo kasih komentar, mikir dulu bung.
Mbak emma, hummp marah nampaknya, Roslan ini mungkin juga anak idiot dalam kacamata orang Indonesia kerana banyak mengkritis cara berfikir beberapa orang yang ada dalam blog ini.
Saya melihatkan banyak ‘bias’ dalam penulisan anda semua terhadap Malaysia, banyak tenaga muda dibuang2 hanya sekadar untuk berdemostrasi di Kedutaan Malaysia di Indonesia, sedangkan tenga muda anada semua itu kalau disalur ke bidang industri mungkin boleh menghasilkan pulangan yang lumayan.
Saya akui nama saya Mohd Roslan, dan itu dikenal di Malaysia dan ini membawa imej Melayu Islam, jadi apa yang perlu saya perhitungkan? Adakah saya bersalah kerna memakai nama itu? yang saya persoalkan adalah nama yang dipakai adalah nama rekaan dan berselindung balik nama asing.
Cuba lihat nama ini, adakah ini nama sebenar atau nama samaran kerana merasa inferior dengan nama jawa atau sebaliknya.
Condro Triono-Kusdawarjo mungkin ini nama jawa tapi nama dibawah ini bukan dong. Apakah kerana takut dengan nama Jawa makan nama English yang jadi pilihan.
Mihael “D.B.” Ellinsworth
Charvye
Kalaupun ayah saya bukan nasionalis apa masalahnya? Tapi saya tidak malu menggunakan nama itu. Nama itu menggambarkan saya yang sebetulnya. So EMMA ini namanya apa ya- mungkin mbak marsinah, retnabugiowan.
Sih kenapa suka berselindung dibalik nama English. Mana Indonesiamu.
Mungkin anda tidak betah dgn sejarah Malaysia mungkin, yang perlu dilaungkan adalah GAYANG MALAYSIA, Malaysia tidak patriotik dan nasionalis. Itu yang anda bisa kumandangkan tapi anda tidak bisa menyelamat ABG-ABG, yang bisa diGANYANG OLEH ORANG MALAYSIA di LOKALISASI dan datang ke kamar hotel. Dengan Rupiah satu juga, lelaki Malaysia bisa mengayang ABG-ABG ini. Di hotel saya kelmarin, ada ABG genit2 yang menawarkan kehormatan dengan Rupiah 1 juta, ada beberapa Englishman mengambil khidmat mereka.
Realiti ayam kampung ini satu fenomena besar dong,kerana apa, katanya tekanan ekonomi. Jadi EMMA sebagai seorang yang bijak juga perlu selamatkan dulu ABG (ayam kampung) ini. Jangan biarkan kerana ekonomi rela diri digayang.
Mbak Emma juga kena faham, pengunjung blog ini relatifnya sedikit, jadi tidak ramai (tak sampai 100orang sehari). Mungkin ini pandangan segelintir rakyat Indonesia, bukan semacam tokoh konglomerat Indonesia yang saya temui kelmarin. Rata-ratanya berfikiran agak global tentang isu indonesia dan Malaysia, dan ada yang pernah menetap di Malaysia hampir 20 tahun. Mereka berpendapat bahawa dalam perubahan ekonomi Indonesia, untuk menghapuskana kadar kemiskinan yang membengkak, mereka perlukan transformasi sementara untuk mengurangkan kemiskin dengan mengeksport TKI, ke Sabah, Serawak, Semenanjung Malaysia, Arab, Singapura. Tapi kerana ramai TKI tidak mampu berbahasa Inggeris maka mereka lebih senang kalau ‘absorber’ itu adalah Malaysia, Brunai, Sabah dan Sarawak yang mempunyai hubungan ras dan bahasa yang tidak rumit untuk difahami.
Anggaran kasar dari seorang ekonom, kalau ekonomi indonesia berterusan berkembang, dalam masa 15-20 tahun baru sektor kerja mencukupi di Indonesia. Jadi dengan kata lain Indonesia perlukan negara lain TKI ini mendapatkan kerja. Ini realiti yang perlu kita lihat dong.
Ketemu saya tidak apa saya tidak pernah kejam kepada perkerja saya, cina, melayu, india, indonesia, Kerna saya waras.
Apa EMMa sudah ke Malaysia? kalau belum mbak boleh datang dan lihatlah sendiri, bandingkan Bandara Changkering dan Bandara KLIA. Pasti anda akan dapat rasakan apa itu erti sebuah kemajuan material.
Selamat berfikir untuk menyelamatkan Indonesia dan puterinya sekali.
RoslanK
Denmark.
Untuk Bung Roslan
Sya heran dengan postingan Anda, dari yang temanya berlindung di balik nama Barat mengapa jadi ke fenomena ayam kampung? Tidak konsisten.
Sudah dijelaskan oleh Bung (mbak?) Hati Nurani bahwa nama-nama di Indonesia tidak hanya terdiri dari nama asli daerah tetapi juga nama-nama serapan dari luar seperti Arab, India, dan Barat.
Jika menurut Anda memakai nama barat bukan tindakan nasionalis, bukankah dengan kebanggaan Bung (mbak?) Charvye dengan menyatakan dirinya bangsa Indonesia dengan etnis Tionghoa sudah cukup menunjukkan ke-nasionalisme-annya tersebut? Nama tidak menjadi persoalan karena walaupun ia bernama barat tetapi sesungguhnya ia memang seorang Indonesia yang mempunyai kebanggaan terhadap negaranya, seperti kata Shakespeare, ‘Apalah artinya sebuah nama?’ yang terpenting adalah pribadi di balik nama tersebut.
Tidak ada yang salah dengan hal tersebut, jadi saya tidak melihat poin Anda yang menyatakan bahwa ia maupun orang Indonesia lain yang memakai nama barat bukanlah seorang nasionalis sejati.
http://www.antara.co.id/arc/2007/11/15/bank-dunia-pertumbuhan-ekonomi-indonesia-2008-capai-6-4-persen/
Pendapat bahwa ekonomi Inodnesia makin cerah diungkapkan Syahrir. http://www.detikfinance.com/index.php?url=http://www.detikfinance.com/index.php/detik.read/tahun/2007/bulan/12/tgl/10/time/194729/idnews/864987/idkanal/4
Dan Bank Indonesia
http://www.detikfinance.com/index.php?url=http://www.detikfinance.com/index.php/detik.read/tahun/2007/bulan/12/tgl/12/time/130320/idnews/865856/idkanal/5
Perlu saya akui,hebat sekali encik Roslan kita yang satu ini.
beberapa reply yang dibuatnya sempat membuat saya panas.
Entah apa hebatnya yang hendak dia sampaikan,fenomena ayam kampung,TKI,economic growth dsb.
Sudah jamak dan menjadi kebiasaan,encik – encik dan puan – puan di Malaysia membutuhkan TKI,dan sudah terjadi hubungan saling membutuhkan,ya sudah,kenapa harus ribut TKI? Atau kalau tidak suka,pulangkan saja mereka.Ganti dengan bangla,nepal,thai,filipino.selesai.
Kalau kalau TKI itu lebih giat bekerja,tekun dan pintar,jangan salahkan mereka.
Yang penting PATInya harus rajin disweeping oleh RELA sesuai SOP/juklak yang ada,kemudian diproses melewati hukum dan dideportasi.Saya yakin itu akan cepat,karena system kependudukan di Malaysia adalah lebih baik ( mengingat ID anda telah memakai chip,dibanding dengan KTP ala Indonesia ) selesai.
Ayam kampung? bukankah anda sendiri yang berbicara itu ada semenjak romawi kuno,bisnis esek-esek inilah yang paling menguntungkan.Namanya juga fenomena,sudah pasti ada tauke tauke dan perempuan yang mau untung cepat.Kenapa harus ribut? berpulang dong ke nurani masing masing,mau memakai ‘service’ mereka atau tidak.
Negara hanya pembatas/ruler dengan membuat undang-undang,Kyai/Ustadz hanya berbicara,menyampaikan.Astaghfirullah,saya baca di posting lain anda tentang adanya kyai yang membolehkan adanya lokalisasi.Dimana anda membaca ini?
Posting lain anda berkehendak mencari ayam kampung seketika anda bertugas di Jakarta?Apa ini sudah menjadi kebiasaan anda? Apa anda tidak malu ber”nama” Mohammad Roslan? Apa anda fikir anda lebih mulia dari Charvye,Mihael,Emma?
Teman-teman kerja saya,orang malaysia kebanyakan bertendensi ke arah racist,mereka lebih cepat & tanggap bila mengidentifikasi sebuah nama & etnis.Bahkan mereka sempat heran,Muslim Indonesia bernama Toni atau Doni.Saya jawab bahwa itu jamak sekali dan tidak perlu dipertentangkan.
Rumah saya encik,punya tetangga,
etnis Tionghoa,Jawa,Sunda,Ambon,Batak,Bugis..dan semua saling menjaga kerukunan.
So what? Apa Abdullah itu lebih baik dari Toni dan kemudian masuk surga? anda pasti tidak sampai berfikir di fase ini bukan? Bagaimana nanti bila anda bertemu dengan, Bulent,Urhan,Eksioglu ( Moslem,Turkish) atau Lee,Chang,Moslem dari cina ?
Mengingat beberapa posting anda ditulis di Pakistan,Swedia,KL.Saya pikir anda bukanlah ‘orang kampong’ yang duduk di rumah panggung sambil menikmati santapan nasi lemak.You are the one who will shift your paradigm,I believe.
Perlu saya garisbawahi bahwa sebenarnya anda tidak mempunyai topik lain lagi yang akan membuktikan kecerdasan intelektual anda atau membela kata – kata anda.Anda sudah sebenarnya mafhum,namun mungkin anda ingin membuktikan pepatah : sekali layar berkembang,pantang membuang sauh…
Mohon maaf penilaian saya,jayalah terus Indonesiaku!!